Pengaturan hukum korupsi di Indonesia menghadapi tantangan signifikan, yang memerlukan perhatian mendalam dari berbagai pihak. UU BUMN tahun 2025 menjadi sorotan utama karena isinya tampak bertentangan dengan tujuan awal pemerintah dalam mencegah kerugian keuangan negara akibat korupsi. Meski demikian, penting untuk tetap objektif dan tidak terjebak dalam asumsi-asumsi yang belum tentu benar. Keberhasilan upaya pemberantasan korupsi telah mencapai tingkat kepuasan publik yang cukup tinggi, namun di sisi lain, ada efek samping yang perlu dipertimbangkan.
Penegakan hukum korupsi sering kali lebih menekankan pada kerugian negara daripada pada pelanggaran hukum atau penyalahgunaan wewenang. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana definisi tindak pidana korupsi seharusnya diterapkan secara tepat. Pasal 14 UU Tipikor dan Pasal 6 huruf c UU Pengadilan Tipikor menetapkan bahwa setiap pelanggaran pidana harus jelas didefinisikan sebagai tindak pidana korupsi agar dapat dikenakan undang-undang tersebut. Namun, dalam praktiknya, ketentuan ini jarang diterapkan oleh kejaksaan dan majelis pengadilan, sehingga proses peradilan tipikor sejak 1999 telah melanggar aturan yang ditetapkan sendiri.
Ketidaksesuaian antara teori dan praktik hukum korupsi mengancam integritas sistem peradilan. Jika pelanggaran hukum ini tidak dikoreksi, maka seluruh putusan pengadilan tipikor dapat dibatalkan karena tidak sah. Oleh karena itu, reformasi hukum korupsi sangat diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak. Langkah-langkah konkret harus diambil untuk memastikan bahwa hukum korupsi digunakan sesuai dengan tujuannya, bukan sebagai alat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.