Dalam upaya memulihkan wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Pangeran Diponegoro, pemerintah kolonial Belanda melancarkan serangkaian operasi militer. Tindakan ini dianggap sebagai respons terhadap apa yang mereka sebut "pemberontakan". Yogyakarta menjadi salah satu daerah utama yang harus direbut kembali. Strategi militer yang dirancang oleh Jenderal De Kock bertujuan untuk merebut kembali wilayah-wilayah penting dan mengendalikan pergerakan pasukan lokal.
De Kock merancang dua strategi utama dalam penaklukan kembali wilayah Jawa. Pertama, ia memerintahkan pemanggilan pasukan dari luar Pulau Jawa, seperti dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, untuk bergerak ke Jawa dengan tujuan memperkuat kekuatan militer di lapangan. Strategi kedua melibatkan penggunaan mata-mata lokal untuk mendapatkan informasi tentang gerakan pasukan musuh. Tujuan akhirnya adalah untuk mengepung lawan di Sungai Progo dan Bogowonto.
Operasi ini dimulai pada pertengahan September 1825. Pasukan dari berbagai wilayah mulai tiba di pelabuhan-pelabuhan di Jawa Utara. Misalnya, pasukan dari Sulawesi Selatan mendarat di Semarang dan kemudian dipimpin oleh Jenderal Mayor van Geen menuju pedalaman Semarang. Sementara itu, pasukan dari Kalimantan Barat mendarat di Demak dan pasukan dari Kalimantan Selatan mendarat di Rembang, sebelum bergerak ke Madiun. Dengan demikian, pasukan Belanda berhasil memperluas cakupan operasi militer mereka di berbagai wilayah Jawa.
Serangkaian strategi militer yang dilakukan oleh Belanda berhasil membuka jalan bagi mereka untuk memperoleh kembali kontrol atas wilayah-wilayah yang sebelumnya hilang. Melalui koordinasi antara pasukan dari luar Jawa dan penggunaan mata-mata lokal, Belanda dapat mengumpulkan informasi yang cukup untuk merencanakan serangan efektif. Upaya ini mencerminkan keberhasilan Belanda dalam memadukan strategi militer dan intelijen untuk mencapai tujuan mereka.