Kementerian Agama (Kemenag) telah mengambil langkah penting dengan menerbitkan aturan baru untuk melindungi anak-anak dari tindak kekerasan di lingkungan pendidikan agama. Keputusan ini bertujuan untuk menciptakan pesantren yang lebih aman dan ramah bagi para santri, sebagai respons terhadap berbagai kasus kekerasan seksual yang telah terjadi. Aturan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari standar kompetensi pengajar hingga sistem deteksi dini melalui layanan bimbingan dan konseling. Dengan implementasi peta jalan ini, diharapkan kasus kekerasan dapat diminimalkan dan lingkungan belajar menjadi lebih kondusif.
Dalam upaya memperkuat perlindungan anak di pesantren, Kementerian Agama resmi menetapkan Keputusan Menteri Agama Nomor 91 Tahun 2025. Dokumen ini berisi Peta Jalan Program Pengembangan Pesantren Ramah Anak, yang dirancang untuk memberikan panduan konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di institusi pendidikan agama. Keputusan ini ditandatangani oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar pada 30 Januari 2025 dan telah final pada 17 Februari 2025.
Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Agustus 2024, sebanyak 101 santri menjadi korban kekerasan seksual di pesantren. Angka ini mencerminkan urgensi permasalahan tersebut dan mendesak Kemenag untuk bertindak cepat. Direktur Pesantren Kemenag, Basnang Said, menyatakan bahwa publik menuntut langkah-langkah nyata untuk mengatasi masalah ini.
Aturan baru ini mencakup standar kompetensi bagi para pengajar, baik dalam aspek kepribadian, sosial, pedagogik, maupun profesional. Para ustaz dan ustazah diharapkan memiliki keterampilan dalam menerapkan metode pengajaran yang ramah anak. Selain itu, sistem deteksi dini akan diterapkan melalui layanan Bimbingan dan Konseling (BK), yang menjadi bagian integral dari peran pendidik. Dengan pendekatan ini, guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembimbing yang membantu santri menghadapi berbagai tantangan, baik akademik, sosial, maupun emosional.
Basnang menekankan bahwa "Para pendidik harus menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, interaktif, dan inklusif agar santri merasa nyaman dalam belajar, bertanya, serta berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan pendidikan."
Dengan implementasi peta jalan ini, diharapkan kasus kekerasan di pesantren dapat diminimalkan melalui deteksi dini serta penanganan yang sesuai prosedur sebelum kejadian memburuk.
Dari perspektif seorang jurnalis, kebijakan ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam melindungi hak-hak anak di lembaga pendidikan agama. Perlunya pendekatan holistik dalam pendidikan, yang melibatkan tidak hanya aspek akademik tetapi juga kesejahteraan mental dan emosional santri, menjadi sangat penting. Ini bukan hanya tentang mencegah kekerasan, tetapi juga menciptakan generasi yang sehat dan produktif. Melalui implementasi aturan ini, kita berharap dapat melihat perubahan positif dalam lingkungan pesantren, sehingga anak-anak dapat berkembang dengan optimal.