Pada suatu pagi, sebuah Focus Group Discussion (FGD) di Universitas Darunnajah membahas pendirian Program Studi Manajemen Pendidikan Islam. Diskusi ini tidak hanya mengeksplorasi aspek akademik tetapi juga menggali refleksi mendalam tentang otonomi dan inovasi dalam dunia pendidikan tinggi. Hadirnya Prof. Dr. Phil. Sahiron, M.A., Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama, memberikan perspektif baru yang menginspirasi peserta diskusi.
Diskusi ini mencerminkan pentingnya pemahaman filosofis dalam pembentukan kebijakan pendidikan. Gelar "Dr. Phil." yang dimiliki Prof. Sahiron menunjukkan tradisi akademik Jerman yang menekankan kedalaman filosofis. Ini bukan sekadar gelar, melainkan panggilan untuk memahami esensi dari setiap keputusan yang diambil. Dalam konteks pendidikan tinggi, ini berarti bahwa kebijakan harus lebih dari sekadar aturan; mereka harus menjadi panduan untuk masa depan.
Ketika KH. Hadiyanto Arief, pimpinan Universitas Darunnajah, menyampaikan visi besar tentang pendirian Program Studi Manajemen Pesantren, banyak pihak menghadapi hambatan regulatif. Nomenklatur untuk program studi tersebut belum tersedia, yang membuat proses pendirian terhenti. Ini mengangkat pertanyaan mendasar: apakah pendidikan tinggi hanya sebatas administrasi, atau apakah ia bisa menjadi laboratorium bagi gagasan-gagasan yang melampaui batas?
Prof. Sahiron menjelaskan bahwa pemerintah sedang merancang Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang program studi kreatif, yang bertujuan memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk membuka program sesuai dengan kebutuhan zaman. Meski tampak sebagai kabar baik, pertanyaan tetap ada: mengapa inovasi selalu harus menunggu regulasi? Diskusi kemudian membandingkan status PTN-BH seperti UGM dan IPB, yang memiliki otonomi luas, dengan PTS yang sejak awal mandiri namun masih terbelenggu oleh regulasi ketat.
Prof. Sahiron mengakui logika ini namun menekankan bahwa pengawasan pemerintah tetap diperlukan untuk memastikan mutu. Namun, terlalu banyak pengendalian dapat menjadi hambatan bagi inovasi. PTS harus berani melepaskan diri dari jeratan administratif dan mulai menempuh jalan inovasi. Bukan sekadar menunggu perubahan regulasi, tetapi dengan kreativitas dan keberanian, PTS dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang adaptif dan relevan.
Akhirnya, diskusi ini menegaskan bahwa PTS, sebagai institusi yang tidak membebani negara, harus memiliki hak yang lebih besar untuk bereksperimen. Mereka harus menjadi pionir dalam lanskap pendidikan tinggi yang terus berkembang, bukan sebagai pesaing, tetapi sebagai pelopor model pembelajaran yang lebih adaptif dan relevan dengan kebutuhan zaman.