Situasi bandara-bandara di Indonesia yang kini semakin sepi menjadi isu yang mendapat perhatian luas. Salah satu contoh yang mencolok adalah Bandara Ahmad Yani di Kota Semarang, yang tidak lagi beroperasi sebagai bandara internasional. Perubahan kebijakan ini merupakan hasil dari Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 31 Tahun 2024 dan KM 33 Tahun 2024, yang menetapkan ulang status bandara nasional. Ini bukan hanya masalah Bandara Ahmad Yani; Bandara Adi Soemarmo juga telah beralih menjadi bandara domestik sejak April 2024.
Pengusaha setempat mengeluhkan dampak negatif dari penurunan status ini terhadap sektor bisnis. Menurut analisis, beberapa faktor mempengaruhi kondisi ini, termasuk penurunan daya beli masyarakat dan ketersediaan suku cadang pesawat yang terbatas pasca pandemi. Situasi ini menyebabkan banyak pesawat tidak dapat beroperasi secara optimal, sehingga mengurangi jumlah penerbangan yang tersedia. Selain itu, populasi pesawat global yang menurun akibat kondisi pabrikan yang kurang sehat juga berkontribusi pada situasi ini.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyoroti bahwa pembangunan bandara yang megah namun tidak efisien menjadi bukti pembangunan yang tidak tepat sasaran. Dia menekankan pentingnya efisiensi dalam penggunaan anggaran pembangunan agar tidak terjadi pemborosan. Dengan adanya penurunan jumlah bandara internasional dari 34 menjadi 17, diharapkan alokasi sumber daya bisa lebih fokus dan efektif. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan utilitas dan efisiensi bandara-bandara yang ada.
Pada akhirnya, situasi ini mendorong kita untuk memikirkan kembali strategi pembangunan infrastruktur yang lebih berkelanjutan dan efisien. Dengan pendekatan yang lebih cermat, kita dapat memastikan bahwa investasi besar dalam pembangunan bandara dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat dan ekonomi nasional. Langkah-langkah ini akan membantu membangun masa depan yang lebih cerah dan produktif.