Dalam sebuah pernyataan mengejutkan di Konferensi Keamanan Munich, seorang tokoh senior Kerajaan Arab Saudi mengusulkan solusi inovatif untuk krisis Gaza. Mantan kepala intelijen negara tersebut menegaskan penolakan terhadap rencana Presiden AS Donald Trump dan mendukung alternatif yang lebih humanis. Dia menyoroti pentingnya rekonstruksi wilayah yang rusak parah akibat konflik, sambil mempertahankan hak penduduk lokal untuk tetap berada di tanah mereka.
Pangeran al-Faisal, mantan kepala intelijen Arab Saudi, tegas menolak rencana Presiden AS Donald Trump yang mencoba merelokasi warga Palestina dari Gaza ke negara-negara tetangga. Menurut pangeran, rencana tersebut tidak dapat diterima oleh siapa pun dan akan menciptakan lebih banyak masalah. Dia menekankan bahwa solusi yang realistis harus melibatkan rekonstruksi Gaza dengan dukungan internasional, bukan melalui pemindahan paksa penduduk.
Alternatif yang dia usulkan adalah mengadaptasi model rekonstruksi serupa dengan Rencana Marshall yang pernah digunakan setelah Perang Dunia II untuk membangun kembali Eropa. Dia menjelaskan bahwa Amerika Serikat telah berhasil membangun kembali seluruh benua Eropa, sehingga tidak ada alasan mengapa mereka tidak bisa melakukan hal yang sama untuk wilayah kecil seperti Gaza. Pendekatan ini akan memastikan bahwa penduduk Gaza dapat tetap tinggal di rumah mereka tanpa harus dipindahkan ke negara lain.
Pangeran al-Faisal juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan Prakarsa Perdamaian Arab sebagai solusi komprehensif untuk konflik antara Israel dan negara-negara tetangganya. Dia berpendapat bahwa prakarsa ini menawarkan kerangka kerja yang solid untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan, dengan mempertimbangkan hak-hak kedua belah pihak. Dengan demikian, solusi ini dapat membantu mengakhiri siklus kekerasan yang telah berlangsung lama.
Dalam konteks rekonstruksi Gaza, pangeran menekankan bahwa upaya tersebut harus dilakukan dengan cara yang memperhatikan kesejahteraan penduduk lokal. Dia menyatakan bahwa jika warga Palestina harus meninggalkan Gaza, mereka harus memiliki hak untuk kembali ke rumah asli mereka di kota-kota seperti Haifa dan Jaffa. Ini menunjukkan komitmen terhadap solusi yang adil dan berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik ini.