Kebijakan pemerintah yang baru telah menimbulkan kekhawatiran di sektor industri hasil tembakau (IHT). Menurut Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, khususnya pada Bagian XXI tentang Pengamanan Zat Adiktif, dapat membawa dampak negatif yang signifikan bagi ekonomi nasional. Henry menekankan bahwa implementasi PP ini tidak seharusnya dipaksakan dalam situasi geopolitik dan geoekonomi global yang sedang mempengaruhi kondisi di Indonesia saat ini. Dia juga mengkritik proses penyusunan beleid tersebut yang dinilai kurang transparan dan minim melibatkan pelaku industri.
Analisis mendalam oleh Gappri menunjukkan potensi kerugian ekonomi yang sangat besar akibat PP No. 28. Diperkirakan kerugian mencapai Rp182,2 triliun, dengan sekitar 1,22 juta pekerja di berbagai sektor terdampak. Larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari sekolah diperkirakan akan menyebabkan kerugian hingga Rp84 triliun, sementara pembatasan iklan akan merugikan ekonomi sebesar Rp41,8 triliun. Jika ketiga aturan tersebut diberlakukan—termasuk penggunaan kemasan polos—potensi pajak yang hilang bisa mencapai Rp160,6 triliun. Gappri menegaskan pentingnya pertimbangan atas masukan dari seluruh pemangku kepentingan untuk menciptakan kebijakan yang seimbang antara kesehatan masyarakat dan kepentingan ekonomi.
Pengambilan keputusan yang bijaksana sangat dibutuhkan dalam konteks ini. Industri hasil tembakau merupakan sektor strategis yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau hingga distributor. Kebijakan yang tepat harus mempertimbangkan kesejahteraan para pekerja serta stabilitas ekonomi nasional. Dengan demikian, upaya untuk melindungi kesehatan masyarakat harus dilakukan tanpa mengorbankan sektor yang memiliki kontribusi signifikan bagi perekonomian negara. Ini adalah momen penting bagi pemerintah untuk mendengarkan suara semua pihak dan mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.