Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah memilih untuk menghentikan konflik di Gaza. Keputusan ini tidak hanya dipengaruhi oleh ketahanan pejuang Hamas, tetapi juga oleh faktor-faktor geopolitik dan kemanusiaan yang lebih luas. Dalam artikel ini, kita akan membahas tiga alasan utama yang mendorong Netanyahu untuk mengambil keputusan penting ini.
Tekanan internasional memainkan peran besar dalam keputusan Israel untuk menghentikan operasi militer di Gaza. Tanpa dukungan dari negara-negara kuat, terutama Amerika Serikat, langkah militer lebih lanjut menjadi sangat berisiko.
Pada fase awal gencatan senjata, Netanyahu mencoba mencari justifikasi untuk melanjutkan operasi militer. Namun, ia belum mendapatkan persetujuan dari AS, sehingga memilih untuk melanjutkan kesepakatan damai. Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan AS bagi kebijakan luar negeri Israel. Langkah-langkah diplomatik AS, termasuk pengiriman utusan tingkat rendah untuk bernegosiasi, menunjukkan sikap hati-hati pemerintah AS dalam mengelola situasi tersebut. Para pemimpin Arab juga berusaha memenuhi tuntutan AS tanpa harus melanjutkan perang, menambah kompleksitas dinamika regional.
Situasi geopolitik dan kemanusiaan juga menjadi pertimbangan penting bagi Israel. Negara ini menghadapi risiko eksistensial jika konflik berlanjut. Ini menciptakan dilema strategis bagi pemimpin Israel.
Israel, sebagai negara kolonial Barat, telah menggunakan berbagai metode untuk mempertahankan eksistensinya. Namun, penggunaan metode ekstrem seperti genosida dan pembersihan etnis sekarang menjadi bumerang politik. Pemerintah AS berusaha mencapai tujuan politik Israel tanpa melanjutkan perang, menambah beban diplomatis. Selain itu, kondisi tahanan Palestina di penjara Israel, termasuk penyiksaan dengan cuaca dingin, telah mendapat sorotan dari kelompok hak asasi manusia. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa Israel harus berhati-hati dalam menjaga reputasi globalnya sambil mempertimbangkan kewajiban kemanusiaannya.