Dalam sebuah pernyataan yang mengejutkan, mantan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, mengkritik dengan tajam Amerika Serikat dan negara-negara Eropa karena mendukung tindakan Israel di Jalur Gaza. Menurutnya, dukungan tersebut telah berkontribusi pada situasi kemanusiaan yang memprihatinkan di wilayah tersebut. Pernyataannya ini mencerminkan pandangan keras bahwa bantuan dari negara-negara Barat kepada Israel dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Dia juga menyoroti bahwa perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang telah diterapkan sejak 19 Januari tidak cukup untuk menyembuhkan luka-luka yang ditimbulkan oleh konflik tersebut.
Pada tanggal 16 Februari 2025, mantan pemimpin Malaysia, Mahathir Mohamad, yang kini berusia 99 tahun, menyuarakan kecaman kerasnya atas bantuan dan dukungan yang diberikan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa kepada Israel dalam aksinya di Jalur Gaza. Menurut Mahathir, tindakan ini sangat biadab dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Di tengah-tengah musim dingin yang dingin, Mahathir mengungkapkan rasa prihatinnya melalui platform X. Dia menekankan bahwa pembunuhan massal yang dilakukan oleh Israel didukung secara finansial dan militer oleh para pendukung besar hak asasi manusia. Situasi ini semakin memperburuk kondisi warga Palestina yang telah kehilangan rumah, akses air bersih, dan layanan medis. Lebih dari 48.200 jiwa telah tewas dalam konflik ini, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi menjadi sasaran serangan roket.
Berawal dari serangan milisi Palestina pada 7 Oktober 2023, perang brutal ini telah meruntuhkan infrastruktur dan hidup warga Gaza. Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) bahkan telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.
Dari perspektif seorang jurnalis, kritik Mahathir Mohamad menyoroti pentingnya refleksi moral dunia internasional. Meski kontroversial, suaranya mengajak kita untuk lebih memperhatikan etika dan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam hubungan internasional. Kita perlu mempertimbangkan bagaimana tindakan politik dan militer dapat memiliki dampak yang mendalam pada kehidupan warga sipil, dan apakah kita sebagai masyarakat global telah melakukan cukup banyak untuk melindungi mereka yang paling rentan.