Di tengah situasi yang semakin rumit, Amerika Serikat telah memutuskan untuk menghentikan pendanaan bagi pasukan keamanan Otoritas Palestina (PA). Langkah ini merupakan bagian dari pembekuan bantuan asing yang lebih luas oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Keputusan ini datang pada saat PA berusaha keras menjaga keamanan di wilayah Tepi Barat dan mempersiapkan diri untuk peran potensial dalam mengelola Jalur Gaza. Meskipun ada upaya dari negara-negara lain untuk menutupi kekurangan dana, beberapa program pelatihan keamanan telah dibatalkan dan pertemuan penting tertunda. Situasi ini semakin memperburuk kondisi ekonomi dan sosial di wilayah tersebut.
Pada masa yang penuh ketegangan, pemerintah AS membuat keputusan kontroversial untuk menghentikan aliran dana ke pasukan keamanan Otoritas Palestina. Langkah ini terjadi di tengah upaya PA untuk menjaga stabilitas di wilayah Tepi Barat yang diduduki dan persiapan mereka dalam mengelola Jalur Gaza. Brigadir Jenderal Anwar Rajab, juru bicara pasukan keamanan PA, menegaskan bahwa AS sebelumnya merupakan donor utama yang mendukung program pelatihan keamanan. Namun, meskipun ada pembekuan dana, mantan pejabat Israel menyatakan bahwa kantor Koordinator Keamanan AS di Yerusalem tetap beroperasi dan para donor lain telah berkomitmen untuk menutupi kekurangan dana.
Sayangnya, dampak langsung dari penghentian ini sudah terasa. Beberapa program pelatihan keamanan telah dibatalkan, dan pertemuan yang direncanakan dengan pejabat AS tentang operasi keamanan di Jenin telah ditunda. Di sisi lain, Otoritas Palestina, dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas, menghadapi kesulitan finansial serius, tidak mampu membayar gaji pegawai negeri secara penuh sejak November 2021. Palestina yang diduduki sangat bergantung pada Israel untuk perdagangan luar negerinya, dengan hampir semua impor dan ekspor berasal dari Israel atau titik-titik yang dikuasai Israel. Israel juga telah menahan bea cukai yang dipungut atas nama pemerintah Palestina selama berbulan-bulan.
Situasi semakin memburuk dengan aksi militer Israel di Tepi Barat utara sejak 21 Januari, hanya dua hari setelah gencatan senjata diberlakukan di Gaza. Aksi militer ini menewaskan lebih dari 55 warga Palestina dan membuat ribuan orang mengungsi di Tepi Barat. Ketegangan meningkat di seluruh wilayah Tepi Barat yang diduduki, di mana ratusan warga Palestina tewas dan ribuan lainnya terluka dalam serangan oleh tentara Israel dan pemukim ilegal sejak Oktober 2023.
Dari perspektif seorang jurnalis, langkah AS ini tampaknya memperburuk situasi yang sudah genting. Tanpa dukungan finansial yang kuat, Otoritas Palestina akan semakin sulit menjaga stabilitas keamanan dan memberikan layanan dasar kepada warganya. Ini menunjukkan pentingnya kerjasama internasional dalam mencari solusi damai dan stabil untuk konflik yang telah berlangsung lama ini. Semoga, langkah-langkah ini dapat mendorong dialog dan pencarian solusi yang lebih konstruktif untuk kedua belah pihak.