Pemerintah telah membuka peluang bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) untuk terlibat dalam industri pertambangan melalui perubahan undang-undang terbaru. Meskipun ini merupakan langkah positif untuk mendukung sektor UMK, syarat modal awal yang ditetapkan menciptakan dilema. Di satu sisi, pemberian izin ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Namun, di sisi lain, modal awal yang diperlukan mungkin tidak sesuai dengan definisi UMK berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021.
Dengan perubahan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UKM kini memiliki kesempatan untuk mengelola sumber daya alam. Ini merupakan upaya pemerintah untuk memaksimalkan potensi ekonomi lokal dan mendistribusikan manfaat secara luas. Penyertaan UMK dalam industri ini bertujuan untuk memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional serta mendukung prinsip ekonomi kerakyatan.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, negara wajib mengelola bumi, air, dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian, langkah pemerintah ini mencerminkan komitmen untuk melibatkan lebih banyak pelaku usaha kecil dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akses yang lebih luas kepada sektor pertambangan dapat memberikan peluang baru bagi UMK untuk berkembang dan berkontribusi pada ekonomi nasional.
Meski peluang baru telah dibuka, syarat modal awal yang ditetapkan oleh pemerintah menjadi tantangan utama bagi UMK. Pengamat hukum energi dan pertambangan menyoroti bahwa persyaratan modal minimal Rp10 miliar justru tidak sesuai dengan kategori UMK berdasarkan regulasi yang ada. Ini menciptakan dilema karena modal tersebut lebih cocok untuk usaha menengah daripada mikro atau kecil.
Kritik juga datang dari Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumandiri), yang berpendapat bahwa kekayaan alam tidak seharusnya diserahkan langsung kepada UMK. Ketua Umum Akumandiri menyatakan bahwa pengelolaan tambang membutuhkan pengetahuan dan kapabilitas khusus yang mungkin belum dimiliki oleh UMK. Selain itu, syarat modal yang tinggi dapat membatasi akses UMK ke industri pertambangan, sehingga tujuan awal untuk mendukung sektor ini menjadi sulit tercapai. Untuk itu, perlu adanya revisi atau penyesuaian terhadap persyaratan modal agar lebih sesuai dengan kondisi aktual UMK.