Boris Nemtsov, seorang tokoh oposisi Rusia yang berani, tewas dalam peristiwa mengerikan pada malam hari di Moskow. Lima tahun setelah tragedi tersebut, pertanyaan tentang motif dan dalang di balik pembunuhan ini masih belum terjawab. Mantan pejabat pemerintah yang awalnya mendukung Vladimir Putin, Nemtsov kemudian menjadi kritikus keras kebijakan Kremlin. Peristiwa ini mengejutkan dunia dan mengungkap dinamika politik yang rumit di Rusia modern.
Pada malam yang dingin di akhir Februari 2015, pemimpin oposisi Boris Nemtsov tewas ditembak tak jauh dari Istana Kremlin. Insiden ini terjadi saat ia sedang berjalan bersama pacarnya di sebuah jembatan ikonik di pusat kota. Pelaku tidak dikenal menembak Nemtsov beberapa kali hingga tewas, sementara pasangannya berhasil selamat tanpa luka. Lokasi simbolis tempat pembunuhan itu semakin memperdalam kontroversi dan spekulasi publik.
Nemtsov, yang lahir pada era Soviet, meraih popularitas sebagai "reformer muda" pada dekade 1990-an. Ia sempat diproyeksikan sebagai penerus potensial Presiden Boris Yeltsin. Namun, ketika Vladimir Putin naik ke tampuk kekuasaan, hubungan mereka memburuk. Nemtsov menjadi kritikus keras kebijakan luar negeri Rusia, terutama intervensi militer di Ukraina dan aneksasi Krimea.
Selama penyelidikan, fokus beralih ke Chechnya, dengan lima warga asli daerah tersebut dinyatakan bersalah atas pembunuhan kontrak. Meski pelaku telah ditangkap, identitas dalang di balik pembunuhan ini tetap menjadi teka-teki. Putri Nemtsov, Zhanna, menyuarakan ketidakpuasan atas proses penyelidikan yang dianggap tidak komprehensif.
Pembunuhan Nemtsov meninggalkan warisan yang kompleks. Meskipun usaha untuk memperingati namanya di Rusia menghadapi hambatan, inisiatif internasional telah membantu menjaga ingatan tentang sosok yang berani ini tetap hidup. Inisiatif seperti pengubahan nama alun-alun di Praha menjadi "Nemtsov Square" menunjukkan bahwa perjuangan Nemtsov melawan penindasan politik masih relevan hingga kini. Ini mengingatkan kita akan pentingnya kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia di era globalisasi.