Kontroversi muncul seiring dengan usulan Presiden AS Donald Trump tentang rencana pembangunan kawasan Gaza yang diberi nama "Gaza Riviera". Usulan ini mencakup berbagai aspek seperti energi terbarukan, infrastruktur transportasi, dan pariwisata. Namun, ide tersebut menuai banyak kritik dari berbagai pihak, terutama negara-negara Arab di Timur Tengah. Meski memiliki potensi manfaat dalam hal rekonstruksi, rencana ini menghadapi tantangan besar, termasuk pertanyaan etika dan finansial. Para pemimpin Arab telah mengekspresikan penolakan mereka terhadap ide pemindahan warga Palestina, sementara analis meragukan efektivitas tekanan diplomatik yang dapat diterapkan AS.
Rencana pembangunan kawasan Gaza yang digagas oleh mantan Presiden AS Donald Trump, dikenal sebagai "Gaza Riviera", mencakup berbagai elemen inovatif. Dokumen yang menjadi dasar proposal ini disusun oleh ekonom Joseph Pelzman, mencakup berbagai proyek infrastruktur modern. Mulai dari sistem transportasi ringan hingga fasilitas wisata pantai, serta pengembangan energi terbarukan. Semua ini bertujuan untuk membangkitkan kembali ekonomi daerah yang telah lama dilanda konflik. Sayangnya, realisasi rencana ini tidak semudah yang dibayangkan. Profesor Pelzman menyatakan bahwa implementasi rencana tersebut membutuhkan langkah drastis, termasuk evakuasi total penduduk Gaza. Ini menimbulkan kontroversi serius, karena bisa dianggap sebagai upaya pembersihan etnis.
Para pemimpin Arab menunjukkan sikap tegas terhadap rencana "Gaza Riviera". Mereka secara konsisten mengecam gagasan pemindahan warga Palestina. Misalnya, Raja Abdullah II dari Yordania secara tegas menyatakan penolakan melalui media sosial. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Mesir juga mengumumkan niatnya untuk mendukung hak-hak warga Palestina. Meskipun kedua negara ini merupakan penerima bantuan signifikan dari AS, mereka tetap menempatkan prinsip keadilan dan hak asasi manusia di atas segalanya. Sikap tegas ini mencerminkan komitmen kuat para pemimpin Arab untuk melindungi martabat dan hak-hak warga Palestina.
Sementara rencana "Gaza Riviera" mungkin tampak menjanjikan dari sudut pandang pembangunan, implikasinya jauh lebih kompleks. Isu utamanya adalah bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan ekonomi dengan hak-hak asasi manusia. Para pemimpin Arab telah menunjukkan bahwa mereka tidak akan mudah dipengaruhi oleh tekanan luar. Mereka berkomitmen untuk mencari solusi yang lebih berkelanjutan dan adil bagi warga Palestina. Dengan demikian, meskipun ide tersebut mungkin tampak inovatif, tantangan moral dan praktis yang dihadapinya membuat pelaksanaannya sangat sulit.