Pada tahun 1825, gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro mencapai puncaknya. Serangkaian aksi perlawanan dilakukan di berbagai wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pasukan yang dipimpin oleh sang pangeran menargetkan fasilitas pemerintahan Belanda serta infrastruktur penting dengan serangan berulang. Salah satu metode utama yang digunakan adalah membakar bangunan-bangunan strategis seperti kantor pemerintahan dan rumah pejabat. Aksi-aksi ini menunjukkan peningkatan intensitas perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Ketika bulan Agustus tiba, daerah Banyumas menjadi salah satu titik panas konflik. Di sini, pasukan Diponegoro melakukan serangan besar-besaran terhadap kantor-kantor pemerintahan di beberapa wilayah termasuk Karang Kobar, Kalibeber, dan Batur. Selain itu, di desa Sembong, seorang pemimpin lokal bernama Raden Ngabei Tersono memimpin aksi pembakaran pos-pos militer sepanjang jalan raya. Situasi serupa juga terjadi di beberapa daerah lain seperti Selomanik Gowong, Selomerto, Brengkelan, Lengis, Yana, dan Kadilangu. Di sana, para pengikut Diponegoro menargetkan rumah-rumah milik etnis Tionghoa sebagai bentuk protes.
Di Monconegoro Timur, dua tokoh penting yaitu Tumenggung Mangkunegoro dan Tumenggung Kartodirjo memimpin pemberontakan. Mereka berhasil menggerakkan ratusan orang untuk menyergap bala bantuan Belanda yang menuju Yogyakarta dari arah Magelang. Akibatnya, beberapa tentara Belanda tewas dan uang senilai 30.000 gulden berhasil dirampas. Sementara itu, di distrik Probolinggo, lebih dari 55.000 orang berkumpul secara sukarela untuk mendukung perlawanan. Massa tersebut kemudian menyerbu Kota Magelang yang hanya dijaga oleh 50 prajurit. Situasi ini membuat Sekretaris Residen Bupati Danuningrat merasa sangat cemas.
Berbagai upaya perlawanan tidak hanya terbatas pada serangan fisik. Di Menoreh, rumah-rumah pejabat Belanda menjadi sasaran pembakaran. Bupati Wedana Ronggo Surodilogo menerima surat dari Diponegoro dan Mangkubumi yang meminta seluruh warga untuk berperang melawan penjajah. Instruksi ini diteruskan kepada para pemuka setempat agar mereka dapat memobilisasi masyarakat dalam perjuangan bersama.
Aksi-aksi perlawanan ini menandai babak baru dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda. Keteguhan dan semangat para pemimpin serta rakyat yang terlibat telah memberikan inspirasi bagi generasi berikutnya dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan nasional.