Pembahasan tentang penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek melalui rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) telah menimbulkan kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Industri tembakau, yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia, mungkin menghadapi tantangan baru akibat wacana ini. Anggota DPR RI Komisi XI, Puteri Anetta Komarudin, menekankan bahwa industri tembakau memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi, termasuk kontribusi terhadap pendapatan negara dan lapangan kerja. Data menunjukkan bahwa industri ini memberikan kontribusi sebesar 4,22% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyumbang Rp 216,9 triliun pada penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2024. Namun, kebijakan penyeragaman kemasan dapat mengganggu target pertumbuhan ekonomi 8% dan memperparah masalah rokok ilegal.
Dalam suasana politik dan ekonomi yang dinamis, pembahasan mengenai penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek menjadi topik hangat di Jakarta. Industri tembakau, yang merupakan salah satu sektor strategis bagi pertumbuhan ekonomi nasional, kini berada di tengah-tengah perdebatan. Anggota DPR RI Komisi XI, Puteri Anetta Komarudin, menyoroti pentingnya peran industri tembakau dalam mendukung ekonomi nasional dan daerah. Menurut data Kementerian Perindustrian, industri ini berkontribusi sebesar 4,22% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menciptakan lapangan kerja bagi 5,9 juta orang. Selain itu, pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp 216,9 triliun pada tahun 2024.
Puteri juga menyoroti potensi dampak negatif dari wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Kebijakan ini dikhawatirkan akan mengganggu target pertumbuhan ekonomi 8% dan memperburuk situasi rokok ilegal. Data menunjukkan bahwa jumlah rokok ilegal meningkat dari 253,7 juta batang pada tahun 2023 menjadi 710 juta batang pada tahun 2024. Ini tentu berpotensi mengurangi pendapatan negara dari CHT. Selain itu, industri tembakau menyerap tenaga kerja yang signifikan, termasuk pekerja di pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT), mayoritas adalah perempuan. Penelitian INDEF menyatakan bahwa sekitar 2,3 juta pekerja berisiko terdampak oleh kebijakan tersebut. Puteri menekankan bahwa kebijakan yang berdampak pada industri tembakau harus mempertimbangkan aspek ekonomi dan ketenagakerjaan, bukan hanya dari sisi kesehatan.
Dari perspektif seorang jurnalis, diskusi ini membuka mata kita akan kompleksitas isu kesehatan publik dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan yang baik harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak sosial dan ekonomi, untuk mencapai keseimbangan yang tepat. Dengan demikian, penting bagi pemerintah untuk melakukan studi mendalam sebelum mengambil langkah-langkah yang berpotensi berdampak luas pada sektor ini.